Beranda REDAKSI PEMANFAATAN PRODUK UNGGULAN SABUT KELAPA DAN AKSES PEMASARANBAGI PENGEMBANGAN USAHA KUMKM

PEMANFAATAN PRODUK UNGGULAN SABUT KELAPA DAN AKSES PEMASARANBAGI PENGEMBANGAN USAHA KUMKM

Lampunglive.com — Industri sabut kelapa Indonesia mulai dikenal secara luas pada 1980-an. Salah
satu daerah yang cukup dikenal sebagai sentra penghasil produk – produk
berbahan sabut kelapa adalah Kebumen, Jawa Tengah. Beberapa produknya yang
digemari konsumen hingga saat ini adalah keset kaki, sapu, sikat cuci, tali, pot bunga dan lain – lain. Meski sistem produksinya masih bersifat tradisional, namun usaha yang berbasis peningkatan nilai tambah ini mampu bertahan, bahkan berkembang secara signifikan di beberapa daerah di Indonesia.

Tak dapat dipungkiri, Indonesia memang merupakan produsen kelapa terbesar di
dunia dengan jumlah produksi mencapai 15 miliar butir per tahun. Namun, hasil
samping dari potensi yang besar itu, yakni sabut kelapanya baru dapat diolah
sekitar 3,2 persen secara nasional atau sekitar 480.000.000 butir per tahun.

Berdasarkan data AISKI tahun 2013, jumlah industri pengolahan sabut kelapa di Indonesia sebanyak 100 unit yang tersebar di Lampung sebanyak 34 pabrik, Riau 12 pabrik, Jawa Timur 12 pabrik, Jawa Tengah 8 pabrik, Jawa Barat 6 pabrik, Banten 3 pabrik, Yogyakarta 2 pabrik, Sumatera Selatan 3 pabrik, Jambi 3 pabrik, Sumatera Barat 1 pabrik, Sumatera Utara 4 pabrik, Aceh 1 pabrik, Bengkulu 1 pabrik, Kalimantan Timur 1 pabrik, Kalimantan Barat 1 pabrik, Sulawesi Utara 5 pabrik, Sulawesi Tengah 1 pabrik, Sulawesi Barat 1 pabrik, dan Maluku Utara 1
pabrik.

Bisnis sabut di Indonesia juga mengalami masa pasang surut seperti halnya bisnis – bisnis lainnya. Penentuan harga jual produk sabut kelapa Indonesia sangat bergantung pada perkembangan ekonomi global. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan Indonesia terhadap pasar ekspor. Sebanyak 95 persen produk sabut kelapa Indonesia masih diekspor dalam bentuk raw material. Sementara beberapa negara penghasil kelapa lainnya, seperti India, Srilanka dan Philipina tidak lagi bergantung pada pasar ekspor raw material, tetapi lebih menitikberatkan pada peningkatan nilai tambahnya.

Pada tahun 2010 lalu, harga cocofiber di pasar ekspor, khususnya China
sempat mencapai USD 460 per ton. Namun, pada tahun 2011 sampai awal
2014 harga penjualan menurun drastis hingga USD 280 per ton. Perkembangan
harga penjualan cocofiber kembali membaik pada pertengahan tahun ini, yakni USD 385 – USD 400 per ton. Kenaikan harga ini sangat dipengaruhi
membaiknya perekonomian dunia yang berimbas meningkatnya permintaan
cocofiber.

Penyebab lainnya adalah gencarnya kampanye go green di negara – negara
maju yang mewajibkan industri – industri besar menggunakan bahan baku yang ramah lingkungan. Cocofiber dalam perdagangan dunia digunakan sebagai
bahan baku pengganti busa dan bahan sintetis lainnya pada industri spring bed,
matras, jok mobil, sofa, karpet, tali dan lain – lain.

Adapun kendala dan permasalahan utama yang dialami oleh industri sabut
kelapa Indonesia adalah rendahnya daya serap pasar terhadap produk cocopeat. Beberapa negara tujuan ekspor cocopeat, seperti China, Korea dan Jepang lebih cenderung mengimpor cocopeat dari India dan Srilanka karena harganya lebih murah. Karena itu, hampir semua industri sabut kelapa Indonesia dipusingkan oleh persoalan menumpuknya cocopeat di setiap pabrik.

Jumlah produksi cocopeat secara nasional yang mencapai 187.200 ton per
tahun, baru terserap sekitar 20 persen, yakni sekitar 37.440 ton per tahun.
Padahal, berdasarkan hasil penelitian dan ujicoba lapangan yang dilakukan
AISKI bekerjasama dengan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT) menunjukkan cocopeat merupakan solusi alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan kritis dan lahan pasca tambang.

Penggunaan cocopeat sebagai media tanam pada kegiataan revegetasi lahan
kritis dan lahan pasca tambang, terbukti dapat mempercepat kinerja
pertumbuhan tanaman. Selain itu, sifatnya yang mudah menyerap dan
menyimpan air, dapat menyelamatkan tanaman dari ancaman kematian karena
kekurangan air. Hingga saat ini, sektor usaha yang paling banyak menggunakan
cocopeat di Indonesia adalah Hutan Tanaman Industri (HTI) di Riau dan
Kalimantan Timur dengan jumlah pemakaian sekitar 30.000 ton per tahun.(Red)